"Quo Vadis" UUPA?
Oleh Maria SW Sumardjono
Tanggal 24 September genap 50 tahun Undang-Undang Pokok-pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 terbit.
Tujuan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) adalah mewujudkan amanat Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 agar tercapai keadilan akses terhadap perolehan dan pemanfaatan bumi, air, dan kekayaan alam di dalamnya.
Namun, perkembangan di segala bidang dan kebutuhan sumber daya alam (SDA) yang meningkat memerlukan penyempurnaan UUPA secara komprehensif dan responsif terhadap aspirasi masyarakat.
Degradasi UUPA
Sejatinya, UUPA dimaksudkan berlaku untuk semua SDA, tidak hanya tanah. Proses penyusunannya selama 12 tahun diwarnai dengan ketidakstabilan penyelenggaraan negara dan konflik politik. Didorong oleh kebutuhan mendesak terbitnya UUPA, dapat dipahami bahwa di luar 10 pasal yang memuat dasar dan ketentuan pokok, hampir 80 persen UUPA mengatur pertanahan.
Kekuranglengkapan UUPA semestinya dilengkapi pada tahun - tahun berikutnya. Akan tetapi, yang terjadi adalah pada 1970-an terbit berbagai UU sektoral (kehutanan, pertambangan, minyak dan gas bumi, pengairan, dan lain-lain) untuk mengimplementasikan pembangunan ekonomi. UU sektoral itu masing-masing berlandaskan pada Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 tanpa merujuk pada UUPA. Sejak saat itu, kedudukan UUPA didegradasi menjadi UU sektoral, khusus mengatur pertanahan.
UU sektoral yang disusun sesuai dengan visi, misi, dan orientasi tiap sektor itu ternyata tumpang tindih. Akibatnya, keadilan dan kepastian hukum di bidang SDA sungguh dipertaruhkan. Hasil kajian terhadap 12 UU sektoral (Maria Sumardjono, dkk, 2009) mengonfirmasikan hal itu.
Dilihat dari aspek orientasi, keberpihakan, pengelolaan, perlindungan HAM, dan penerapan tata kelola pemerintahan yang baik, terdapat inkonsistensi antar-UU sektoral. Dampak disharmoni dapat dilihat pada sulitnya koordinasi, degradasi SDA, ketimpangan struktur penguasaan dan pemanfaatan SDA, serta berbagai konflik yang berlarut.
Di bidang pertanahan sudah terbit banyak peraturan pelaksanaan UUPA. Namun, masih ada dua persoalan mendasar pembangunan hukum pertanahan.
Pertama, belum tersedia cetak biru kebijakan pertanahan yang komprehensif. Berbagai peraturan disusun untuk mengatasi hambatan yang terjadi dan urgensi-urgensi lain.
Adanya tenggat penyelesaian peraturan mendorong penyusunan peraturan tidak selalu dilandasi pada Naskah Akademik (NA) yang memuat kerangka konseptual sebagai dasar perumusan peraturan yang bersangkutan. Bisa jadi NA bahkan dibuat bersamaan atau setelah peraturan selesai disusun. Penyusunan peraturan yang reaktif dan parsial berpotensi menghasilkan produk hukum temporer.
Kedua, arah dan strategi penyempurnaan UUPA belum tampak jelas. Kondisi yang dilematis ini perlu dicarikan solusinya.
Dilema UUPA
Wacana revisi UUPA diawali dengan usulan Konsorsium Pembaruan Agraria tahun 1998, yang memilih revisi UUPA sebagai UU payung/induk pengaturan sumber-sumber agraria (lex generalis).
Tahun 2000 BPN menyusun RUU Pertanahan (lex specialis) dan September 2004 BPN menyusun RUU Sumber Daya Agraria (lex generalis). Tahun 2005/ 2006 BPN kembali menyusun RUU Pertanahan (lex specialis). Tahun 2006 DPD mengusulkan RUU Penyempurnaan UUPA sebagai lex generalis.
Revisi UUPA sebagai lex specialis dimaksudkan untuk mempertegas rumusan ketentuan UUPA seraya menyatukan ketentuan dasar tentang pertanahan yang tersebar dalam berbagai peraturan. Pilihan ini meminimalkan resistensi sektor lain, tetapi tidak mengubah peta sektoral dengan segala dampaknya.
Revisi UUPA sebagai lex generalis memerlukan komitmen semua sektor bahwa kelestarian lingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan merupakan salah satu prinsip dasar dalam pengaturan SDA. Mengingat tingginya ego sektoral, mengupayakan komitmen bersama bukanlah pekerjaan mudah.
Konsekuensi revisi UUPA sebagai lex specialis adalah memperkuat pengaturan di bidang pertanahan, tetapi tidak menyelesaikan pekerjaan rumah yang ditinggalkan UUPA. Revisi UUPA sebagai lex generalis dimaksudkan untuk mereposisi UUPA melalui (1) penguatan prinsip-prinsip UUPA dengan memberi perspektif baru sesuai perkembangan dan aspirasi masyarakat; (2) perumusan pokok-pokok pengaturan penguasaan dan pemanfaatan SDA di bidang pertanahan dan SDA selain pertanahan.
Agenda mendesak
Jalan keluar dari dilema antara kebutuhan penyusunan peraturan pertanahan dan pada saat yang sama merevisi UUPA adalah dengan mulai menyusun cetak biru kebijakan pertanahan/agraria sesuai pilihan pendekatan.
Melalui cetak biru kebijakan akan diperoleh gambaran menyeluruh tentang visi, misi, tujuan, strategi, program, dan skala prioritas, berikut peraturan-peraturan yang diperlukan.
Di Republik Afrika Selatan, proses penyusunan cetak biru kebijakan pertanahan memerlukan waktu 2,5 tahun melalui konsultasi publik yang ekstensif. Ini diperkaya pengalaman hasil uji coba kebijakan di lapangan.
Pekerjaan besar menyusun cetak biru kebijakan pertanahan/ agraria memerlukan komitmen yang kuat dari semua pemangku kepentingan. Sebelum hal ini terwujud, masa depan UUPA akan terus dipertanyakan.
Maria SW Sumardjono Guru Besar Hukum Agraria Fakultas Hukum UGM
Dikutib dari Sumber : http://m.kompas.com/news/read/data/2010.09.24.03504295
Comments :
0 komentar to “"Quo Vadis" UUPA?”
Posting Komentar