Komersialisasi Pesisir
Rabu, 9 September 2009 | 05:42 WIB
Kabar mengenai Peraturan Pemerintah tentang Hak Pengusahaan Perairan Pesisir yang segera terbit dan diberlakukan tahun 2011 menuai protes dari pemangku kepentingan (Kompas, 20/8). Maria SW Sumardjono Pemahaman obyektif hak pengusahaan perairan pesisir (HP3) yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil menunjukkan, pemberlakuan HP3 berpotensi menimbulkan masalah dilihat dari segi hukum dengan aneka implikasinya.
Arah komersialisasi perairan pesisir jelas terbaca dalam HP3. HP3 diberikan dalam luasan tertentu, dalam jangka waktu 60 tahun kumulatif, diterbitkan sertifikatnya, dapat beralih dan dialihkan, serta dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan. Subyek HP3 adalah WNI, badan hukum Indonesia, dan masyarakat adat. Dengan alasan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil melalui sistem perizinan memiliki keterbatasan (Kompas, 28/8), HP3 diciptakan sebagai ”hak” dan bukan izin.
Analogi HP3 dengan hak atas tanah menurut rezim UUPA itu tidak tepat. Hak atas tanah menimbulkan hubungan kepemilikan antara subyek hak dan obyek yang memberikan wewenang melakukan perbuatan hukum terhadap hak atas tanahnya (mengalihkan, menjadikan hak atas tanah sebagai jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan).
Pendaftaran hak atas tanah dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum atas subyek dan obyek hak.
Berbeda dengan hak atas tanah, HP3 adalah izin untuk memanfaatkan, dalam hal ini mengusahakan, sumber daya perairan pesisir dan pulau-pulau kecil. HP3 tidak menciptakan hubungan kepemilikan, tetapi hanya memberikan kewenangan terbatas untuk memanfaatkan obyek/hasilnya.
Konsekuensinya, HP3 tidak dapat beralih serta dialihkan dan tidak dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan karena HP3 bukan hak atas tanah. HP3 juga tidak perlu diterbitkan sertifikatnya.
Ternyata, angin surga yang dijanjikan kepada (calon) investor pun akan mengalami kendala karena persoalan mendasar HP3. Apakah kelemahan dalam sistem perizinan yang ada dapat diatasi dengan menciptakan lembaga hukum HP3 yang bermasalah?
Tumpang tindih HP3
Obyek HP3 itu luas, dengan berbagai bentuk pemanfaatannya. Pertama, perairan pesisir dapat dimanfaatkan untuk, misalnya, budidaya rumput laut dan kerang mutiara.
Kedua, sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil dapat dimanfaatkan untuk usaha wisata alam, penambangan pasir/mineral laut, usaha tenaga listrik, dan usaha penyulingan air laut.
Ketiga, daratan pulau-pulau kecil dapat dimanfaatkan untuk usaha nonkomersial maupun komersial (wisata alam, industri perikanan, dan lain-lain).
Obyek HP3 berpotensi tumpang tindih dengan (1) perizinan bidang kehutanan (misalnya pemanfaatan hutan bakau, penggunaan jasa lingkungan di kawasan hutan bakau); (2) perizinan bidang pertambangan (pemanfaatan pasir dan mineral laut); (3) perizinan bidang pariwisata, pengembangan wisata pantai. Amat mungkin terjadi tumpang tindih dengan pemberian HGB di wilayah perairan pantai, perairan pesisir, dan HGU untuk budidaya perikanan pantai, budidaya mutiara dan rumput laut, dan sebagainya.
Kehadiran HP3 dipastikan menambah ketidakpastian hukum dalam pemberian hak/izin sektor lain.
HP3, hak masyarakat adat
UU No 27/2007 dalam berbagai pasalnya mengakomodasi hak masyarakat adat, Pasal 61 mengakui masyarakat adat tanpa persyaratan. Hal ini merupakan kemajuan dibandingkan dengan pengaturan dalam undang-undang sektoral lain. Namun, pemahaman secara kontekstual menunjukkan hal sebaliknya.
Pertama, kesempatan masyarakat adat menjadi subyek HP3. Pertanyaannya, apakah masyarakat adat yang telah mempraktikkan kegiatannya selama ini harus mempunyai HP3? Apa manfaat HP3 bagi masyarakat adat? Apakah masyarakat adat memerlukan HP3, mengingat persyaratan teknis, administratif, dan operasionalnya tidak mudah dipenuhi? Jika wilayah kegiatan masyarakat adat dimohonkan HP3 oleh pihak lain, siapa yang akan dimenangkan?
Pasal 60 menegaskan, masyarakat adat berhak mendapat akses terhadap perairan yang ditetapkan sebagai HP3 atau mendapat kompensasi karena hilangnya akses terhadap sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil akibat pemberian HP3 kepada pihak lain. Tampaknya masyarakat adat harus mengalah, dengan cara diberikan akses dan/atau kompensasi.
Kedua, pemanfaatan pulau- pulau kecil wajib mempunyai HP3. Jika pemanfaatannya digunakan masyarakat adat, pemerintah/pemerintah daerah menerbitkan HP3 setelah melakukan musyawarah dengan masyarakat adat. Pertanyaannya, siapa yang melakukan musyawarah, pemohon HP3 dengan masyarakat adat atau pemerintah/pemerintah daerah dengan masyarakat adat? Apakah masyarakat adat dapat menolak permohonan HP3 itu dan apa akibat hukumnya?
Ketiga, saat wilayah yang diatur adat (sasi, mane'e, panglima laot, dan sebagainya) dijadikan konservasi yang pengelolaannya dilakukan pemerintah/pemerintah daerah, apakah masyarakat adat dapat mempraktikkan hak ulayat lautnya seperti semula sesuai pranata adatnya?
Keempat, sejauh mana keleluasaan masyarakat adat melaksanakan kegiatan pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil? Pasal 60 Ayat (1) Huruf c menafikan pengakuan masyarakat adat tanpa syarat itu karena menyatakan, masyarakat adat berhak melakukan kegiatan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Siapa yang berhak menentukan hukum adat itu bertentangan atau tidak dengan peraturan perundang-undangan?
Sayang pengakuan terhadap masyarakat adat itu secara tekstual dan kontekstual ternyata berbeda.
Oleh karena itu, PP HP3 seyogianya tidak dipaksakan untuk segera diterbitkan. Penerbitan PP yang bermasalah sama dengan mempertaruhkan kredibilitas. Jangan hendaknya karena target, substansi lalu diabaikan. Membuka diri terhadap usulan penyempurnaan HP3 dalam UU No 27/2007 terkait HP3 adalah perwujudan akuntabilitas publik.
Maria SW Sumardjono Guru Besar Hukum Agraria Fakultas Hukum UGM Yogyakarta
Sumber http://cetak.kompas.com/read/ xml/2009/09/09/05424047/ komersialisasi..pesisir
Comments :
0 komentar to “Komersialisasi Pesisir”
Posting Komentar