Jumat, 10 Desember 2010
Pendaftaran Hapusnya Hak
Pendaftaran Hapusnya Hak
Pendaftaran hapusnya hak atas tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang disebabkan oleh habisnya jangka waktu hak tersebut dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan karena jabatannya berdasarkan data di Kantor Pertanahan. (Pasal 131 ayat (1) , PMNA/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor.3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP. Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah ).
Pendaftaran hapsnya hak atas tanah, Hak pengelolaan, atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang disebabkan oleh dibatalkan atau dicabutnya hak yang bersangkutan dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan atas permohonan yang berkepentingan dengan melampirkan :
a. Salinan Keputusan pejabat yang berwenang yang menyatakan bahwa hak yang bersangkutan telah batal, dibatalkan atau dicabut, dan
b. Sertipikat hak atau, apabila srtipikat tersebut tidak ada pada pemohon, keterangan mengenai keberadaan sertipikat tersebut,
(Pasal 131 ayat (2) , PMNA/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor.3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP. Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah ).
Pendaftaran hapusnya hak atas tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang disebabkan oleh dilepaskannya hak tersebut oleh pemegangnya dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan berdasarkan permohonandari pihak yang berkepentingan dengan melampirkan :
a. 1). Akta notaris yang menyatakan bahwa pemegang yang bersangkutan melepaskan hak tersebut, atau
2). Surat keterangan dari pemegang hak bahwa pemegang hak yang bersangkutan melepaskan hak tersebut yang dibuat di depan dan disaksikan oleh Camat letak tanah yang bersangkutan, atau
3). Surat keterangan dari pemegang hak bahwa pemegang hak yang bersangkutan melepaskan hak tersebut yang dibuat di depan dan disaksikan oleh Kepala Kantor Pertanahan,
b. Persetujuan dari pemegang Hak Tanggungan apabila hak tersebut dibebani Hak Tanggungan,
c. Sertipikat hak yang bersangkutan,
(Pasal 131 ayat (3) , PMNA/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor.3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP. Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah ).
Apabila pemegang hak melepaskan haknya dalam rangka pembaharuan atau perubahan hak, maka permohonan dari pemegang hak untuk memperoleh pembaharuan atau perubahan hak tersebut berlaku sebagai keterangan melepaskan hak yang dapat dijadikan dasar pendaftaran hapusnya hak. (Pasal 131 ayat (4) , PMNA/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor.3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP. Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah ).
Apabila pemegang Hak Milik mewakafkan tanahnya, maka akta ikrar wakaf berlaku sebagai surat keterangan melepaskan Hak Milik yang dapat dijadikan dasar pendaftaran hapusnya Hak Milik tersebut untuk selanjutnya tanahnya didaftar sebagai tanah wakaf. (Pasal 131 ayat (5) , PMNA/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor.3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP. Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah ).
Pencatatan hapusnya hak dilakukan sebagai berikut :
a. Di dalam buku tanah dan, apabila sertipikat diserahkan di dalam sertipikat, nomor hak yang bersangkutan dicoret dengan tinta hitam,
b. Selanjutnya dalam halaman perubahan yang telah disediakan dituliskan :
“Hak atas tanah hapus berdasarkan :
- Berakhir jangka waktunya tanggal... ... ... ... ... ... ... ... .. ... ... ... ...... ... ... ... ...
- Keputusan pembatalan/pencabutan hak No ... ... ... ... ... tanggal ... ... ... ... ...
- Akta notaris ... ... ... ... ... Nomor ... ... ... ... tanggal ... ... ... ...dibuat oleh pemegang hak dihadapan dan disaksikan oleh ... ... ... ... ...
- Permohonan pembaharuan/perubahan hak tanggal ... ... dan menjadi Hak ..... Nomor .... ...
- Akta Pejabat Ikrar Wakaf ... ...Nomor ... ...tanggal ... dan tanahnya menjadi tanah wakaf nomor ... ...
c. Dalam daftar nama, surat ukur dan petanya, nomor hak yang telah dihapus dicoret dengan tinta hitam.
(Pasal 131 ayat (6) , PMNA/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor.3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP. Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah ).
Buku tanah dan sertipikat yang sudah diberi catatan mengenai hapusnya hak dinyatakan tidak berlaku lagi, kecuali dalam hal hapusnya hak karena dilepaskan pemegang haknya dalam rangka pembaharuan hak atau perubahan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 132 ayat (3). (Pasal 131 ayat (7) , PMNA/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor.3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP. Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah ).
Kamis, 09 Desember 2010
Perubahan Data Pendaftaran Tanah Berdasarkan Putusan Atau Penetapan Pengadilan
Perubahan Data Pendaftaran Tanah Berdasarkan Putusan Atau Penetapan Pengadilan
Penetapan perubahan data pendaftaran tanah berdasarkan putusan pengadilan atau penetapan Hakim/Ketua Pengadilan oleh Kepala Kantor Pertanahan dalam daftar buku tanah yang bersangkutan dan daftar umum lainnya dilakukan setelah diterimanya penetapan hakim/Ketua Pengadilan atau putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan salinan Berita Acara Eksekusi dari panitera Pengadilan Negeri yang bersangkutan. (Pasal 125 ayat (1) , PMNA/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor.3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP. Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah ).
Pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat pula dilakukan atas permohonan pihak yang berkepentingan dengan melampirkan :
a. Salinan resmi penetapan atau putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan salinan Berita Acara Eksekusi,
b. Sertipikat hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang bersangkutan,
c. Identitas pemohon.
(Pasal 125 ayat (2) , PMNA/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor.3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP. Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah ).
Pendaftaran pencatatan hapusnya suatu hak atas tanah atau Hak Pengelolaan atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun berdasarkan putusan Pengadilan dilaksanakan oleh Kepala Kantor Pertanahan setelah diterimanya salinan keputusan mengenai hapusnya hak bersangkutan dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk. (Pasal 125 ayat (3) , PMNA/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor.3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP. Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah ).
Pihak yang berkepentingan dapat minta dicatat dalam buku tanah bahwa suatu hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun akan dijadikan obyek gugatan di Pengadilan dengan menyampaikan salinan surat gugatan yang bersangkutan. (Pasal 126 ayat (1) , PMNA/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor.3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP. Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah ).
Catatan tersebut hapus dengan sendirinya dalam waktu 30 (tigapuluh) hari terhitung dari tanggal pencatatan atau apabila pihak yang minta pencatatan telah mencabut permintaannya sebelum waktu tersebut berakhir. (Pasal 126 ayat (2) , PMNA/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor.3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP. Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah ).
Apabila hakim yang memeriksa perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memerintahkan status quo atas hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang bersangkutan, maka perintah tersebut dicatat dalam dalam buku tanah. (Pasal 126 ayat (3) , PMNA/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor.3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP. Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah ).
Catatan mengenai perintah status quo tersebut pada ayat (3) hapus dengan sendirinya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kecuali apabila diikuti dengan putusan sita jaminan yang salinan resmi dan berita acara eksekusinya disampaikan kepada Kepala Kantor Pertanahan. (Pasal 126 ayat (4) , PMNA/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor.3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP. Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah ).
Penyitaan hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun dalam rangka penyidikan atau penuntutan perbuatan pidana dicatat dalam buku tanah dan daftar umum lainnya serta, kalau mungkin, pada sertipikatnya, berdasarkan salinan resmi surat penyitaan yang dikeluarkan oleh penyidik yang berwenang sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (Pasal 127 ayat (1) , PMNA/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor.3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP. Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah ).
Catatan mengenai penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihapus setelah sita tersebut dibatalkan/diangkat atau penyidikan perbuatan pidana yang bersangkutan dihentikan sesuai ketentuan yang berlaku atau sesudah ada putusan mengenai perkara pidana yang bersangkutan. (Pasal 127 ayat (2) , PMNA/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor.3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP. Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah ).
Pencatatan lain dari pada yang dimaksud dalam Pasal 125, 126, dan 127 dalam rangka gugatan di depan pengadilan dan penuntutan perbuatan pidana hanya dapat dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan apabila permintaan utnuk itu disampaikan melalui dan disetujui Menteri. (Pasal 128 , PMNA/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor.3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP. Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah ).
Pendaftaran Tanah Secara sporadik
Pendaftaran Tanah Secara sporadik
Kegiatan pendaftaran tanah secara sporadik dilakukan atas permohonan yang bersangkutan dengan surat sesuai bentuk sebagaimana tercantum dalam lampiran 13. (Pasal 73 ayat (1), PMNA/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor.3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP. Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah ).
Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi permohonan untuk :
a. Melakukan pengukuran bidang tanah untuk keperluan tertentu
b. Mendaftar hak baru berdasarkan alat bukti sebagaimana dimaksud dalam pasal 23 PP Nomor 24 Tahun 1997,
c. Mendaftar hak lama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 PP. Nomor 24 Tahun 1997.
(Pasal 73 ayat (2), PMNA/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor.3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP. Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah ).
Permohonan pengukuran bidang tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (2) huruf a diajukan oleh yang berkepentingaan untuk keperluan :
a. Persiapan permohonan hak baru,
b. Pemecahan , pemisahan dan penggabungan bidang tanah,
c. Pengembalian batas,
d. Penataan batas dalam rangka konsolidasi tanah,
e. Inventarisasi pemilikan dan penguasaan tanah dalam rangka pengadaan tanah sesuai ketentuan yang berlaku.
f. Lain-lain dengan persetujuan pemegang hak.
(Pasal 74 , PMNA/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor.3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP. Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah ).
Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (2) huruf b harus disertai dengan dokumen asli untuk membuktikan hak atas bidang tanah yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 PP. Nomor 24 Tahun 1997. (Pasal 75 , PMNA/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor.3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP. Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah ).
Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (2) huruf c harus disertai dengan dokumen asli yang membuktikan adanya hak yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, yaitu :
a. Grosse akta hak eigendom yang ditebitkaan berdasarkan Overschrijvings Ordonnantie (S.1834-27), yang telah dibubuhi catatan, bahwa hak eigendom yang bersangkutan dikonversi menjadi hak milik, atau
b. Grosse akta hak eigendom yang diterbitkan berdasarkan Overschrijvings Ordonnantie (S.1834-27) sejak berlakunya UUPA sampai tanggal pendaftaran tanah dilaksanakan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 di daerah yang bersangkutan, atau
c. Surat tanda bukti hak milik yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Swapraja yang bersangkutan, atau
d. Sertipikat hak milik yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1959, atau
e. Surat keputusan pemberian hak milik dari pejabat yang berwenang, baik sebelum atau sejak berlakunya UUPA, yang tidak disertai kewajiban untuk mendaftarkan hak yang diberikan, tetapi telah dipenuhi semua kewajiban yang disebut di dalamnya, atau
f. Petuk Pajak Bumi/Landrente, girik, pipil, kekitir dan Verponding Indonesia sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961, atau
g. Akata pemindahan hak yang dibuat dibawah tangan yang dibubuhi tanda kesaksian oleh Kepala Adat/Kepala Desa/Kelurahan yang dibuat sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini dengan disertai alas hak yang dialihkan, atau
h. Akta pemindahan hak atas tanah yang dibuat oleh PPAT, yang tanahnya belum dibukukan dengan disertai alas hak yang dialihkan, atau
i. Akta ikrar wakaf/surat ikrar wakaf yang dibuat sebelum ataau sejak mulai dilaksanakan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 dengan disertai alas hak yang dialihkan, atau
j. Risalah lelang yang dibuat oleh Pejabat Lelang yang berwenang, yang tanahnya belum dinukukan dengan disertai alas haak yang dialihkan, atau
k. Surat penunjukan atau pembelian kaveling tanah pengganti tanah yang diambil oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah, atau
l. Surat keterangan riwayat tanah yang pernah dibuat oleh Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan dengan disertai alas hak yang dialihkan, atau
m. Lain-lain bentk alat pembuktian tertulis dengan nama apapun juga sebagaimana dimaksud Pasal II, VI dan VII Ketentuan-ketentuan Konversi UUPA.
(Pasal 76 ayat (1) , PMNA/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor.3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP. Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah ).
Apabila bukti kepemilikan sebidang tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak lengkap atau tidak ada, pembuktian kepemilikan atas bidang tanah itu dapat dilakukan dengan bukti lain yang dilengkapi dengan pernyataan yang bersangkutan dan keterangan yang dapat dipercaya dari sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi dari lingkungan masyarakat setempat yang tidak mempunyai hubungan keluarga dengan yang bersangkutan sampai derajad kedua baik dalam kekerabatan vertikal maupun horizontal, yang menyatakan bahwa yang bersangkutan adalah benar pemilik bidang tanah tersebut. (Pasal 76 ayat (2) , PMNA/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor.3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP. Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah ).
Dalam hal bukti-bukti mengenai kepemilikan tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) tidak ada maka permohonan tersebut harus disertai dengan :
a. Surat pernyataan dari pemohon yang menyatakan hal-hal sebagai berikut :
1. Bahwa pemohon telah menguasai secara nyata tanah yang bersangkutan selama 20 tahun atau lebih secara berturut-turut, atau telah memperoleh penguasaan itu dari pihak atau pihak-pihak lain yang telah menguasainya, sehingga waktu penguasaan pemohon dan pendahulunya tersebut berjumlah 20 tahun atau lebih,
2. Bahwa penguasaan tanah itu telah dilakukan dengan itikad baik,
3. Bahwa penguasaan itu tidak pernah diganggu gugat dan karena itu dianggap diakui dan dibenarkan oleh masyarakat hukum adat atau desa/kelurahan yang bersangkutan,
4. Bahwa tanah tersebut sekarang tidak dalam sengketa,
5. Bahwa apabila pernyataan tersebut memuat hal-hal yang tidak sesuai dengan kenyataan, penandatanganan bersedia dituntut di muka Hakim secara pidana maupun perdata karena memberikan keterangan palsu.
b. Keterangan dari Kepala Desa/Lurah dan sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi yang kesaksiannya dapat dipercaya, karena fungsinya sebagai tetua adat setempat dan/atau penduduk yang sudah lama bertempat tinggal di desa/kelurahan letak tanah yang bersangkutan dan tidak mempunyai hubungan keluarga pemohon sampai derajat kedua baik dalam kekerabatan vertikal maupun horizontal, yang membenarkan apa yang dinyatakan oleh pemohon dalam surat pernyataan diatas, sesuai bentuk sebagaimana tercantum dalam lampiran 14.
(Pasal 76 ayat (3) , PMNA/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor.3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP. Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah ).
Penerbitan Sertipikat Pengganti
Penerbitan Sertipikat Pengganti
Permohonan penerbitan sertipikat pengganti karena rusak atau karena masih menggunakan blanko sertipikat lama dapat diajukan ileh yang berkepentingan dengan melampirkan sertipikat atau sisa sertipikat yang bersangkutan (Pasal 137 ayat (1), PMNA/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor.3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP. Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah ).
Sertipikat dianggap rusak apabila ada bagian yang tidak terbaca atau ada halaman yang sobek atau terlepas, akan tetapi masih tersisa bagian sertipikat yang cukup untuk mengidentifikasi adanya sertipikat tersebut. (Pasal 137 ayat (2), PMNA/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor.3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP. Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah ).
Penerbitan sertipikat karena masih menggunakan blanko lama meliputi juga penggantian sertipikat hak atas tanah dalam rangka pembaharuan atau perubahan hak yang menggunakan sertipikat lama dengan mencoret ciri-ciri hak baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 132 ayat (3). (Pasal 137 ayat (2), PMNA/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor.3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP. Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah ).
Keterangan :
Pasal 132 ayat (3) : Dalam Pendaftaran Pembaharuan kak atau perubahan hak untuk melaksanakan kebijaksanaan tertentu khusunya yang bersifat massal, buku tanah dan sertipikat lama dapat terus dipergunakan dengan mencoret ciri-ciri hak semula yang tidak sesuai lagi dan menggantinya dengan ciri-ciri hak yang baru, dengan ketentuan bahwa kemudian atas permohonan pemegang hak buku tanah dan sertipikat tersebut dapat diganti dengan yang baru.
Penerbitan sertipikat pengganti karena hilang didasarkan atas pernyataan dari pemegang hak mengenai hilangnya sertipikat tersebut yang dituangkan dalam Surat Pernyataan seperti contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran 25. (Pasal 138 ayat (1), PMNA/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor.3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP. Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah ).
Pernyataan tersebut dibuat dibawah sumpah di depan Kepala Kantor Pertanahan letak tanah yang bersangkutan atau Kepala Seksi Pengukuran dan Pendaftaran Tanah atau pejabat lain yang ditunjuk Kepala Kantor Pertanahan. (Pasal 138 ayat (2), PMNA/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor.3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP. Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah ).
Dalam hal pemegang atau para pemegang hak tersebut berdomisili di luar Kabupaten/Kotamadya letak tanah, maka pembuatan pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat dilakukan di Kantor Pertanahan di domisili yang bersangkutan atau di depan pejabat Kedutaan Republik Indonesia di negara domisili yang bersangkutan. (Pasal 138 ayat (3), PMNA/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor.3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP. Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah ).
Dengan mengingat besarnya beaya pengumuman dalam surat kabar harian sebagaimana ditentukan dalam Pasal 59 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dibandingkan dengan harga tanah yang sertipikatnya hilang serta kemampuan pemohon, Kepala Kantor
Pertanahan dapat menentukan bahwa pengumuman akan diterbitkannya sertipikat tersebut ditempatkan di papan pengumuman Kantor Pertanahan dan di jalan masuk tanah yang setipikatnya hilang dengan papan pengumuman yang cukup jelas untuk dibaca orang yang berada di luar bidang tanah tersebut. (Pasal 138 ayat (4), PMNA/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor.3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP. Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah ).
Sebagai tindak lanjut pengumuman akan diterbitkannya sertipikat pengganti, maka dibuat Berita Acara Pengumuman dengan menggunakan daftar isian 304 A.( Berita Acara Pelaksanaan Pengumuman dan Penerbitan/Penolakan Penerbitan Sertipikat Pengganti. (Pasal 138 ayat (5), PMNA/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor.3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP. Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah ).
Untuk penerbitan sertipikat pengganti tidak dilakukan pengukuran maupun pemeriksaan tanah dan nomor hak tidak diubah. (Pasal 139 ayat (1), PMNA/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor.3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP. Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah ).
Senin, 06 Desember 2010
Utamakan Kepentingan Masyarakat dalam Tata Ruang
Utamakan Kepentingan Masyarakat dalam Tata Ruang
Oleh : Djan Faridz
Dalam penjelasan umum Undang- Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang diuraikan bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), baik sebagai kesatuan wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut dan ruang udara termasuk ruang di dalam bumi, maupun sebagai sumber daya, merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada bangsa Indonesia yang perlu disyukuri, dilindungi, dan dikelola secara berkelanjutan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat sebagaimana yang terkandung dalam falsafah dan dasar negara Pancasila.
Untuk mewujudkan amanat Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 tersebut, UU No 26/2007 menyatakan bahwa negara menyelenggarakan penataan ruang, yang pelaksanaan wewenangnya dilakukan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah (pemda) dengan tetap menghormati hak yang dimiliki oleh setiap orang. Tujuan penyelenggaraan penataan ruang berdasarkan UU No 26/2007 tersebut adalah untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional, sehingga dapat terwujud keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan. Terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan, dengan memperhatikan sumber daya manusia dan terwujudnya perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.
Dari tujuan penataan ruang yang telah dijabarkan di atas, dan dari apa yang dijabarkan dalam penjelasan umum UU No 26/2007 tersebut, maka salah satu hal terpenting yang harus diutamakan dalam penataan ruang adalah peranan masyarakat selaku salah satu pemangku kepentingan.
Hal ini selaras dengan salah satu asas penyelenggaraan penataan ruang sebagaimana tercantum dalam ketentuan Pasal 2 huruf g. UU No. 26 tahun 2007 yaitu asas perlindungan kepentingan umum. Hal ini dapat diartikan bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan mengutamakan kepentingan masyarakat.
Selanjutnya, hak, kewajiban dan peran serta masyarakat dalam penataan ruang diatur secara spesifik dalam Bab VIII, UU No 26 Tahun 2007. Dalam ketentuan Pasal 60 UU No. 26 Tahun 2007 diatur bahwa setiap orang memiliki hak untuk mengetahui rencana tata ruang, menikmati pertambahan nilai ruang sebagai akibat penataan ruang. Kemudian memperoleh penggantian yang layak atas kerugian yang timbul akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang.
Masyarakat jug dapat mengajukan keberatan kepada pejabat yang berwenang terhadap pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang di wilayahnya. Mengajukan tuntutan pembatalan izin dan penghentian pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang kepada Pejabat yang berwenang, serta mengajukan tuntutan ganti rugi kepada pemerintah dan/atau pemegang izin apabila kegiatan pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang menimbulkan kerugian.
Ketentuan Pasal 65 (1) UU No. 26 Tahun 2007 kemudian dengan jelas mengamanatkan bahwa penyelenggaraan penataan ruang dilakukan pemerintah dengan melibatkan masyarakat.
Pengadilan
Sementara peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan penataan ruang diatur berdasarkan ketentuan Pasal 65 (2) UU No. 26 Tahun 2007, berupa partisipasi dalam 3 hal yaitu, partisipasi dalam penyusunan rencana tata ruang, partisipasi dalam pemanfaatan ruang dan partisipasi dalam pengendalian pemanfaatan ruang.
Dengan demikian dapat disimpulkan masyarakat memiliki hak untuk berpartisipasi dalam setiap tahapan penataan ruang, dimulai dari penyusunan rencana tata ruang, pemanfaatan ruang hingga pengendalian pemanfaatan ruang.
Aturan-aturan tersebut memberikan dasar atau landasan yang kuat untuk menjamin keterlibatan atau peran serta masyarakat dalam penataan ruang. Selain jaminan atas keterlibatan masyarakat dalam penataan ruang, UU No. 26 Tahun 2007 juga memberikan hak kepada masyarakat untuk mengajukan gugatan melalui pengadilan, apabila dirugikan akibat penyelenggaraan penataan ruang sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 66 (1) UU No. 26 Tahun 2007. Lebih lanjut lagi, pihak yang dirugikan akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang berhak untuk memperoleh penggantian yang layak. Mengingat peranannya sangat penting di samping adanya jaminan dari UU, maka masyarakat berhak untuk diberikan akses seluas-luasnya untuk mendapatkan informasi mengenai rencana tata ruang dan juga partisipasi dalam tiap-tiap tahap proses penataan ruang. Baik tahap penyusunan rencana tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang.
Peranan masyarakat dalam tiap tahap tersebut tidak dapat dikesampingkan dalam proses pengambilan keputusan dalam penataan ruang. Hal ini tentu saja membutuhkan peran aktif dari pemerintah dan pemda untuk membuka akses informasi seluas-luasnya terkait Penataan Ruang kepada masyarakat luas. Akses informasi tersebut sudah seharusnya tidak hanya terbatas kepada akses informasi yang bersifat elektronis, yang sulit untuk dijangkau khususnya oleh masyarakat kecil. Padahal masyarakat kecil adalah pihak yang paling pertama terkena dampak dari suatu kegiatan penataan ruang.
Peran pemerintah dan pemda dalam membuka akses informasi termasuk juga dengan melaksanakan kewajiban pemerintah dan pemda untuk mensosialisasikan kepada masyarakat setiap rancangan peraturan-peraturan terkait penataan ruang. Baik berupa UU ataupun Peraturan Daerah (Perda) kepada masyarakat sebelum rancangan peraturan tersebut diundangkan sesuai dengan yang diamanatkan dalam ketentuan Pasal 22 ayat 2 dan ketentuan Pasal 30 UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Kegagalan Pemerintah atau Pemerintah Daerah dalam mensosialisasikan rancangan peraturan-peraturan terkait Penataan Ruang sebelum diundangkan dapat menimbulkan kesan bahwa pemerintah atau pemda masih menganut paham kolonialisme, di mana peraturan hanya dibuat dan berpihak untuk kepentingannya sendiri, bukan untuk kepentingan masyarakat.
Padahal, selain kewajiban dari sisi pemerintah atau pemda untuk mensosialisasikannya, UU bahkan sudah memberikan hak kepada masyarakat untuk memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan undang-undang dan rancangan peraturan daerah.
Lalu bagaimana masyarakat dapat menggunakan haknya apabila masyarakat bahkan tidak mengetahui rancangan peraturan tersebut, akibat tidak tersosialisasikannya suatu rancangan peraturan?
Diberikannya hak kepada masyarakat untuk memberikan masukan tentu harus sejalan dengan sosialisasi dari pemerintah itu sendiri. Selain pentingnya sosialisasi, hal yang harus diperhatikan lebih lanjut adalah ketentuan ancaman pidana dalam UU atau
Perda terkait Penataan Ruang. Ketentuan ancaman pidana seyogyanya adalah untuk memberikan efek jera kepada pelaku. Akan tetapi, apabila perumusan ancaman pidana tidak dibarengi dengan proses pembentukan peraturan perundang-undangan sesuai ketentuan dan prosedur yang berlaku, tentu saja tujuan hukum itu sendiri yaitu kepastian, keadilan dan kemanfaatan, tidak akan tercapai, di mana pada akhirnya masyarakat yang akan dirugikan. Dengan demikian, sudah sepatutnya rancangan tersebut dibuat tidak semena-mena dan sesuai dengan asas-asas hukum pidana, serta dalam tahap perancangan peraturan tersebut harus disosialisasikan terlebih dahulu kepada masyarakat.
Pada akhirnya, secara singkat dapat diambil kesimpulan bahwa selain dengan membuka akses informasi terkait penataan ruang sebagaimana telah diuraikan di atas, pemerintah juga harus berperan dalam mengupayakan pemberdayaan dan mendorong serta membuka ruang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk dapat ikut serta secara aktif atau berpartisipasi dalam penataan ruang sehingga tujuan dari penyelenggaraan penataan ruang dapat terwujud.
Penulis adalah Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI
Dikutib dari Sumber : http://www.suarapembaruan.com/index.php?detail=News&id=22588
"Quo Vadis" UUPA?
"Quo Vadis" UUPA?
Oleh Maria SW Sumardjono
Tanggal 24 September genap 50 tahun Undang-Undang Pokok-pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 terbit.
Tujuan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) adalah mewujudkan amanat Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 agar tercapai keadilan akses terhadap perolehan dan pemanfaatan bumi, air, dan kekayaan alam di dalamnya.
Namun, perkembangan di segala bidang dan kebutuhan sumber daya alam (SDA) yang meningkat memerlukan penyempurnaan UUPA secara komprehensif dan responsif terhadap aspirasi masyarakat.
Degradasi UUPA
Sejatinya, UUPA dimaksudkan berlaku untuk semua SDA, tidak hanya tanah. Proses penyusunannya selama 12 tahun diwarnai dengan ketidakstabilan penyelenggaraan negara dan konflik politik. Didorong oleh kebutuhan mendesak terbitnya UUPA, dapat dipahami bahwa di luar 10 pasal yang memuat dasar dan ketentuan pokok, hampir 80 persen UUPA mengatur pertanahan.
Kekuranglengkapan UUPA semestinya dilengkapi pada tahun - tahun berikutnya. Akan tetapi, yang terjadi adalah pada 1970-an terbit berbagai UU sektoral (kehutanan, pertambangan, minyak dan gas bumi, pengairan, dan lain-lain) untuk mengimplementasikan pembangunan ekonomi. UU sektoral itu masing-masing berlandaskan pada Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 tanpa merujuk pada UUPA. Sejak saat itu, kedudukan UUPA didegradasi menjadi UU sektoral, khusus mengatur pertanahan.
UU sektoral yang disusun sesuai dengan visi, misi, dan orientasi tiap sektor itu ternyata tumpang tindih. Akibatnya, keadilan dan kepastian hukum di bidang SDA sungguh dipertaruhkan. Hasil kajian terhadap 12 UU sektoral (Maria Sumardjono, dkk, 2009) mengonfirmasikan hal itu.
Dilihat dari aspek orientasi, keberpihakan, pengelolaan, perlindungan HAM, dan penerapan tata kelola pemerintahan yang baik, terdapat inkonsistensi antar-UU sektoral. Dampak disharmoni dapat dilihat pada sulitnya koordinasi, degradasi SDA, ketimpangan struktur penguasaan dan pemanfaatan SDA, serta berbagai konflik yang berlarut.
Di bidang pertanahan sudah terbit banyak peraturan pelaksanaan UUPA. Namun, masih ada dua persoalan mendasar pembangunan hukum pertanahan.
Pertama, belum tersedia cetak biru kebijakan pertanahan yang komprehensif. Berbagai peraturan disusun untuk mengatasi hambatan yang terjadi dan urgensi-urgensi lain.
Adanya tenggat penyelesaian peraturan mendorong penyusunan peraturan tidak selalu dilandasi pada Naskah Akademik (NA) yang memuat kerangka konseptual sebagai dasar perumusan peraturan yang bersangkutan. Bisa jadi NA bahkan dibuat bersamaan atau setelah peraturan selesai disusun. Penyusunan peraturan yang reaktif dan parsial berpotensi menghasilkan produk hukum temporer.
Kedua, arah dan strategi penyempurnaan UUPA belum tampak jelas. Kondisi yang dilematis ini perlu dicarikan solusinya.
Dilema UUPA
Wacana revisi UUPA diawali dengan usulan Konsorsium Pembaruan Agraria tahun 1998, yang memilih revisi UUPA sebagai UU payung/induk pengaturan sumber-sumber agraria (lex generalis).
Tahun 2000 BPN menyusun RUU Pertanahan (lex specialis) dan September 2004 BPN menyusun RUU Sumber Daya Agraria (lex generalis). Tahun 2005/ 2006 BPN kembali menyusun RUU Pertanahan (lex specialis). Tahun 2006 DPD mengusulkan RUU Penyempurnaan UUPA sebagai lex generalis.
Revisi UUPA sebagai lex specialis dimaksudkan untuk mempertegas rumusan ketentuan UUPA seraya menyatukan ketentuan dasar tentang pertanahan yang tersebar dalam berbagai peraturan. Pilihan ini meminimalkan resistensi sektor lain, tetapi tidak mengubah peta sektoral dengan segala dampaknya.
Revisi UUPA sebagai lex generalis memerlukan komitmen semua sektor bahwa kelestarian lingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan merupakan salah satu prinsip dasar dalam pengaturan SDA. Mengingat tingginya ego sektoral, mengupayakan komitmen bersama bukanlah pekerjaan mudah.
Konsekuensi revisi UUPA sebagai lex specialis adalah memperkuat pengaturan di bidang pertanahan, tetapi tidak menyelesaikan pekerjaan rumah yang ditinggalkan UUPA. Revisi UUPA sebagai lex generalis dimaksudkan untuk mereposisi UUPA melalui (1) penguatan prinsip-prinsip UUPA dengan memberi perspektif baru sesuai perkembangan dan aspirasi masyarakat; (2) perumusan pokok-pokok pengaturan penguasaan dan pemanfaatan SDA di bidang pertanahan dan SDA selain pertanahan.
Agenda mendesak
Jalan keluar dari dilema antara kebutuhan penyusunan peraturan pertanahan dan pada saat yang sama merevisi UUPA adalah dengan mulai menyusun cetak biru kebijakan pertanahan/agraria sesuai pilihan pendekatan.
Melalui cetak biru kebijakan akan diperoleh gambaran menyeluruh tentang visi, misi, tujuan, strategi, program, dan skala prioritas, berikut peraturan-peraturan yang diperlukan.
Di Republik Afrika Selatan, proses penyusunan cetak biru kebijakan pertanahan memerlukan waktu 2,5 tahun melalui konsultasi publik yang ekstensif. Ini diperkaya pengalaman hasil uji coba kebijakan di lapangan.
Pekerjaan besar menyusun cetak biru kebijakan pertanahan/ agraria memerlukan komitmen yang kuat dari semua pemangku kepentingan. Sebelum hal ini terwujud, masa depan UUPA akan terus dipertanyakan.
Maria SW Sumardjono Guru Besar Hukum Agraria Fakultas Hukum UGM
Dikutib dari Sumber : http://m.kompas.com/news/read/data/2010.09.24.03504295
Sabtu, 04 Desember 2010
Pendaftaran Hak Tanggungan
Pendaftaran Hak Tanggungan
Obyek Sudah Terdaftar tetapi belum atas nama pemberi Hak Tanggungan
Untuk pendaftaran Hak Tanggungan yang obyeknya berupa hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan umah Susun yang sudah terdaftar tetapi belum atas nama pemberi Hak Tanggungan dan diperoleh pemberi Hak Tanggungan karena peralihan hak melalui pewarisan atau pemindahan hak, PPAT yang membuat Akta Pemberian Hak Tanggungan wajib selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah penandatanganan akta tersebut menyerahkan kepada Kantor Pertanahan berkas yang diperlukan yang terdiri dari :
a. Surat Pengantar dari PPAT yang dibuat rangkap 2 (dua) dan memuat daftar jenis surat-surat yang disampaikan,
b. Surat permohonan pendaftaran peralihan hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun dari pemberi Hak Tanggungan,
c. Fotocopy surat bukti identitas pemohon pendaftaran peralihan hak sebagaimana dimaksud huruf b,
d. Sertipikat asli hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang menjadi obyek tanggungan,
e. Dokumen asli yang membuktikan terjadinya peristiwa/perbuatan hukum yang mengakibatkan beralihnya hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun kepada pemberi Hak Tanggungan, yaitu :
1. Dalam hal pewarisan: surat keterangan sebagai ahli waris dan Akta Pembagian Waris apabila sudah diadakan pembagian waris,
2. Dalam hal pemindahan hak melalui jual-beli : Akta Jual Beli,
3. Dalam hal pemindahan hak melalui lelang : Kutipan Risalah Lelang,
4. Dalam hal pemindahan hak melalui pemasukan modal dalam perusahaan (inbreng) : Akta Pemasukan Ke Dalam Perusahaan,
5. Dalam hal pemindahan hak melalui tukar-menukar : Akta Tukar Menukar,
6. Dalam hal pemindahan hak melalui hibah : Akta Hibah,
f. Bukti Pelunasan pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997, dalam hal bea tersebut terutang,
g. Bukti pelunasan pembayaran PPh sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 dan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1996, dalam hal pajak tersebut terutang.
h. Surat permohonan pendaftaran Hak Tanggungan dari penerima Hak Tanggungan,
i. Fotocopy surat bukti identitas pemberi dan pemegang Hak Tanggungan,
j. Lembar ke-2 Akta Pemberian Hak Tanggungan,
k. Salinan Akta Pemberian Hak Tanggungan yang sudah diparaf oleh PPAT yang bersangkutan untuk disyahkan sebagai salinan oleh Kepala Kantor Pertanahan untuk pembuatan Sertipikat Hak Tanggungan,
l. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan, apabila pemberian Hak Tanggungan dilakukan melalui kuasa.
(Pasal 115 ayat (1), PMNA/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor.3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP. Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah ).
Dalam hal pendaftaran Hak Tanggungan yang obyeknya berupa hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang sudah terdaftar tetapi belum atas nama pemberi Hak Tanggungan dan diperoleh oleh pemberi Hak Tanggungan karena peralihan hak, pendaftaran peralihan hak yang bersangkutan dilaksanakan lebih dahulu. (Pasal 115 ayat (2), PMNA/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor.3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP. Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah ).
Setelah hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang menjadi obyek Hak tanggungan didaftar peralihan haknya atas nama pemberi Hak Tanggungan, Kepala Kantor Pertanahan mendaftar Hak Tanggungan yang bersangkutan dengan membuatkan Buku Tanah Hak tanggungan dan mencatatnya pada Buku Tanah dan Sertipikat hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang menjadi obyek Hak Tanggungan, yang tanggalnya adalah tanggal hari ketujuh setelah tanggal pendaftaran peralihan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dengan ketentuan bahwa apabila hari ketujuh tersebut jatuh pada hari libur Buku tanah Hak tanggungan dan pencatatan tersebut diberi bertanggal hari kerja berikutnya. (Pasal 115 ayat (3), PMNA/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor.3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP. Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah ).
Ketentuan dalam Pasal 114 ayat (2), (3), (4), dan (7) berlaku secara mulatis mutandis terhadap pendaftaran Hak Tanggungan yang diatur dalam Pasal ini, baik mengenai permohonan pendaftaran peralihan hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun maupun permohonan pendaftaran Hak Tanggungan yang bersangkutan. (Pasal 115 ayat (4), PMNA/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor.3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP. Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah ).
Pendaftaran Hak Tanggungan
Pendaftaran Hak Tanggungan
Obyeknya Sudah Terdaftar atas nama pemberi Hak Tanggungan
Read More......
Obyeknya Sudah Terdaftar atas nama pemberi Hak Tanggungan
Untuk pendaftaran Hak Tanggungan yang obyeknya berupa hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang sudah terdaftar atas nama pemberi Hak Tanggungan, PPAT yang membuat Akta Pemberian Hak Tanggungan wajib selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah penandatanganan Akta tersebut menyerahkan kepada Kantor Pertanahan berkas yang diperlukan yang terdiri dari :
a. Surat Pengantar dari PPAT yang dibuat rangkap 2 (dua) dan memuat daftar jenis surat-surat yang disampaikan,
b. Surat permohonan pendaftaran Hak Tanggungan dari penerima Hak Tanggungan,
c. Fotocopy surat bukti identitas pemberi dan pemegang Hak Tanggungan,
d. Sertipikat asli hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang menjadi obyek tanggungan,
e. Lembar ke-2 Akta Pemberian Hak Tanggungan,
f. Salinan Akta Pemberian Hak Tanggungan yang sudah diparaf oleh PPAT yang bersangkutan untuk disyahkan sebagai salinan oleh Kepala Kantor Pertanahan untuk pembuatan Sertipikat Hak Tanggungan,
g. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan, apabila pemberian Hak Tanggungan dilakukan melalui kuasa.
Pasal 114 ayat (1), PMNA/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor.3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP. Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah ).
Di daerah yang letak Kantor PPAT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jauh dari Kantor Pertanahan dan menurut pendapat PPAT yang bersangkutan akan memerlukan biaya yang mahal untuk menyerahkan berkas tersebut dengan cara datang di Kantor Pertanahan, berkas tersebut dapat dikirim dengan Pos Tercatat selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah penandatanganan Akta Pemberian Hak Tanggungan atau disampaikan melalui penerima Hak Tanggungan yang bersedia menyerahkannya kepada Kantor Pertanahan tanpa membebankan biaya penyampaian berkas tersebut pada pemberi Hak Tanggungan. (Pasal 114 ayat (2), PMNA/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor.3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP. Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah ).
Petugas Kantor Pertanahan yang ditunjuk membubuhkan tanda-tangan, cap, dan tanggal penerimaan pada lembar kedua surat pengantar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sebagai tanda terima berkas tersebut dan mengembalikannya melalui petugas yang menyerahkan berkas itu atau, dalam hal berkas tersebut diterima melalui Pos Tercatat, menyampaikan tanda terima itu kepada PPAT yang bersangkutan melalui Pos Tercatat pula. (Pasal 114 ayat (3), PMNA/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor.3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP. Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah ).
Apabila dalam pemeriksaan berkas ternyata bahwa berkas tersebut tidak lengkap, baik karena jenis dokumen yang diterima tidak sesuai dengan jenis dokumen yang disyaratkan pada ayat (1) maupun karena pada dokumen yang sudah diserahkan terdapat cacat materi atau dibuat tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sesudah tanggal penerimaan berkas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Kepala Kantor Pertanahan memberitahukan secara tertulis ketidak lengkapan berkas tersebut kepada PPAT yang bersangkutan dengan menyebutkan jenis kekurangan yang ditemukan. (Pasal 114 ayat (4), PMNA/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor.3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP. Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah ).
Segera sesudah ternyata bahwa berkas yang bersangkutan lengkap Kepala Kantor
Pertanahan mendaftar Hak Tanggungan yang bersangkutan dengan membuatkan buku tanah Hak Tanggungan dan mencatatnya pada buku tanah dan sertipikat hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang menjadi obyek Hak Tanggungan, yang tanggalnya adalah tanggal hari ketujuh setelah tanggal tanda terima termaksud pada ayat (3), dengan ketentuan bahwa apabila hari ketujuh tersebut jatuh pada hari libur, maka Buku tanah Hak Tanggungan dan pencatatan diatas diberi bertanggal hari kerja berikutnya. (Pasal 114 ayat (5), PMNA/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor.3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP. Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah ).
Dalam hal terdapat ketidak lengkapan berkas sebagaimana dimaksud pada ayat (4), maka tanggal Buku tanah Hak Tanggungan dan pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) adalah tanggal hari ketujuh setelah diterimanya kelengkapan berkas tersebut, dengan ketentuan bahwa apabila hari ketujuh tersebut jatuh pada hari libur, maka Buku tanah Hak Tanggungan dan pencatatan diatas diberi bertanggal hari kerja berikutnya. (Pasal 114 ayat (6), PMNA/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor.3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP. Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah ).
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), (4), (5) dan (6) harus juga dilaksanakan oleh Kantor Pertanahan, walaupun pengiriman berkas oleh PPAT dilakukan sesudah waktu yang ditetapkan pada ayat (1) dan (2). (Pasal 114 ayat (7), PMNA/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor.3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP. Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah ).
Peralihan Hak Karena Pewarisan
Peralihan Hak Karena Pewarisan
Read More......
Untuk pendaftaran peralihan hak karena pewarisan mengenai bidang tanah hak yang sudah didaftar dan hak milik atas satuan rumah susun sebagai yang diwajibkan menurut ketentuan sebagaimana Pasal 36 (yaitu : ayat (1). Pemeliharaan data pendaftaran tanah dilakukan apabila terjadi perubahan pada data fisik atau data yuridis obyek pendaftaran tanah yang telah terdaftar. Ayat (2). Pemegang hak yang bersangktan wajib mendaftarkan perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Kantor Pertanahan.), wajib diserahkan oleh yang menerima hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang bersangkutan sebagai warisan kepada Kantor Pertanahan, sertipikat hak yang bersangkutan, surat kematian orang yang namanya dicatat sebagai pemegang haknya dan surat tanda bukti sebagai ahli waris. ( Pasal 42 ayat (1), Peraturan Pemerintah RI Nomor.24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah ).
Jika bidang tanah yang merupakan warisan belum didaftar, wajib diserahkan juga dokumen-dokumen sebagaimana dimaksud dalam pasal 39 ayat (1) huruf b (antara lain surat keterangan Kepala Desa/Kelurahan yang menyatakan bahwa yang bersangkutan menguasai bidang tanah tersebut, dan surat keterangan yang menyatakan bahwa bidang tanah yang bersangkutan belum bersertipikat dari Kantor Pertanahan, dari pemegang hak yang bersangkutan dengan dikuatkan oleh Kepala Desa/Kelurahan.) ( Pasal 42 ayat (2), Peraturan Pemerintah RI Nomor.24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah ).
Jika penerima warisan terdiri dari satu orang, pendaftaran peralihan hak tersebut dilakukan kepada orang tersebut berdasarkan surat tanda bukti sebagai ahli waris sebagaimana dimaksud pada ayat (1). ( Pasal 42 ayat (3), Peraturan Pemerintah RI Nomor.24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah ).
Jika penerima warisan lebih dari satu orang dan waktu peralihan hak tersebut didaftarkan disertai dengan akta pembagian waris yang memuat keterangan bahwa hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun tetentu jatuh kepada seorang penerima warisan tertentu, pendaftaran peralihan hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun itu dilakukan kepada penerima warisan yang bersangkutan berdasarkan surat tanda bukti sebagai ahli waris dan akta pembagian waris tersebut. ( Pasal 42 ayat (4), Peraturan Pemerintah RI Nomor.24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah ).
Warisan berupa hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang menurut akta pembagian waris harus dibagi bersama antara beberapa penerima warisnya, didaftar peralihan haknya kepada para penerima waris yang berhak sebagai hak bersama mereka berdasarkan surat tanda bukti sebagai ahli waris dan/atau akta pembagian waris tersebut. ( Pasal 42 ayat (5), Peraturan Pemerintah RI Nomor.24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah ).
Pemindahan Hak Dengan Lelang
Pemindahan Hak Dengan Lelang
Read More......
Peralihan hak melalui pemindahan hak dengan lelang hanya dapat didaftar jika dibuktikan dengan kutipan risalah lelang yang dibuat oleh Pejabat Lelang ( Pasal 41 ayat (1), Peraturan Pemerintah RI Nomor.24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah ).
Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sebelum suatu bidang tanah atau satuan rumah susun dilelang baik dalam rangka lelang eksekusi maupun lelang non-eksekusi, Kepala Kantor Lelang wajib meminta keterangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 34 ( yaitu : (1). Setiap orang yang berkepentingan berhak mengetahui data fisik dan data yuridis yang tersimpan di dalam peta pendaftaran, daftar tanah, surat ukur dan buku tanah. (2). Data fisik dan data yuridis yang tercantum dalam daftar nama hanya terbuka bagi instansi Pemerintah tertentu untuk keperluan pelaksanaan tugasnya. (3). Persyaratan dan tata cara untuk memperoleh keterangan mengenai data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh Menteri.) kepada Kepala Kantor Pertanahan mengenai bidang tanah atau satuan rumah susun yang akan dilelang. ( Pasal 41 ayat (2), Peraturan Pemerintah RI Nomor.24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah ).
Kepala Kantor Pertanahan mengeluarkan keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja setelah diterimanya permintaan dari Kepala Kantor Lelang. ( Pasal 41 ayat (3), Peraturan Pemerintah RI Nomor.24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah ).
Kepala Kantor Lelang menolak melaksanakan lelang, apabila : ( Pasal 41 ayat (4), Peraturan Pemerintah RI Nomor.24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah ).
a. Mengenai tanah yang sudah terdaftar atau hak milik atas satuan rumah susun :
1. Kepadanya tidak diserahkan sertipikat asli hak yang bersangkutan, kecuali dalam hal lelang eksekusi yang dapat tetap dilaksanakan walaupun sertipikat asli hak tersebut tidak diperoleh oleh Pejabat Lelang dari pemegang haknya, atau
2. Sertipikat yang diserahkan tidak sesuai dengan daftar-daftar yang ada di Kantor Pertanahan,
b. Mengenai bidang tanah yang belum didaftar, kepadanya tidak disampaikan :
1. Surat Bukti hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1), yaitu : (untuk keperluan pendaftaran hak, hak atas tanah yang berasal dari konversi hak-hak lama dibuktikan dengan alat-alat bukti mengenai adanya hak tersebut berupa bukti-bukti tertulis, keterangan saksi dan atau prnyataan yang bersangkutan yang kadar kebenarannya oleh Panitia Ajudikasi dalam pendaftaran tanah secara sistematik atau Kepala Kantor Pertanahan dalam pendaftaran tanah secara sporadik, dianggap cukup untuk mendaftar hak, pemegang hak dan hak-hak pihak lain yang membebaninya) atau surat keterangan Kepala Desa/Kelurahan yang menyatakan bahwa yang bersangkutan menguasai bidang tanah tersebut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2), dan
2. Surat keterangan yang menyatakan bahwa bidang tanah yang bersangkutan belum bersetipikat dari Kantor Pertanahan, atau untuk tanah yang terletak di daerah yang jauh dari kedudukan Kantor Pertanahan, dari pemegang hak yang besangkutan dengan dikuatkan Kepala Desa/Kelurahan, atau
c. Ada perintah Pengadilan Negeri untuk tidak melaksanakan lelang berhubung dengan sengketa mengenai tanah yang bersangkutan.
Untuk pendaftaran peralihan hak yang diperoleh melalui lelang disampaikan kepada Kepala Kantor Pertanahan : ( Pasal 41 ayat (5), Peraturan Pemerintah RI Nomor.24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah ).
a. Kutipan risalah lelang yang bersangkutan ,
b. 1). Sertipikat hak milik atau satuan rumah susun atau hak atas tanah yang dilelang jika bidang tanah yang bersangkutan sudah terdaftar, atau
2). Dalam hal sertipikat tersebut tidak diserahkan kepada pembeli lelang eksekusi, surat keterangan dari Kepala Kantor Lelang mengenai alasan tidak diserahkannya sertipikat tersebut, atau
3). Jika bidang tanah yang bersangkutan belum terdaftar, surat-surat sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) huruf b Pasal ini ,
c. Bukti identitas pembeli lelang,
d. Bukti pelunasan harga pembelian
Pemindahan Hak
Pemindahan Hak
Read More......
Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang, hanya dapat didaftarkan, jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku ( Pasal 37 ayat (1), Peraturan Pemerintah RI Nomor.24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah ).
Dalam keadaan tertentu sebagaimana yang ditentukan oleh Menteri, Kepala Kantor Pertanahan dapat mendaftar pemindahan hak atas bidang tanah hak milik, yang dilakukan di antara perorangan warga negara Indonesia yang dibuktikan dengan akta yang tidak dibuat oleh PPAT, tetapi yang menurut Kepala Kantor Pertanahan tersebut kadar kebenarannya dianggap cukup untuk mendaftar pemindahan hak yang bersangkutan. ( Pasal 37 ayat (2), Peraturan Pemerintah RI Nomor.24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah ).
Pembuatan akta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) dihadiri oleh para pihak yang melakukan pebuatan hukum yang bersangkutan dan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi yang memenuhi syarat untuk bertindak sebagai saksi dalam perbuatan hukum itu. ( Pasal 38 ayat (1), Peraturan Pemerintah RI Nomor.24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah ).
Bentuk, isi dan cara pembuatan akta-akta PPAT diatur oleh Menteri. ( Pasal 38 ayat (2), Peraturan Pemerintah RI Nomor.24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah ).
Jenis dan Bentuk Akta
Akta tanah yang dibuat oleh PPAT untuk dijadikan dasar pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah adalah : ( Pasal 95 ayat (1), PMNA/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor.3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP. Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah ).
a. Akta Jual Beli
b. Akta Tukar Menukar
c. Akta Hibah
d. Akta Pemasukan Ke dalam Perusahaan
e. Akta Pembagian Hak Bersama
f. Akta Pemberian Hak Tanggungan
g. Akta Pemberian Hak Guna Bangunan Atas Tanah Hak Milik
h. Akta Pemberian Hak Pakai Atas Hak Milik
Selain akta-akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) PPAT juga membuat Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan yang merupakan akta pemberian kuasa yang dipergunakan dalam pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan. ( Pasal 95 ayat (2), PMNA/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor.3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP. Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah ).
Bentuk-bentuk akta yang dipergunakan di dalam pembuatan akta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1) dan (2) dan cara pengisiannya adalah sebagaimana tercantum pada lampiran 16 s/d 23. ( Pasal 96 ayat (1), PMNA/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor.3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP. Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah ).
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) menolak untuk membuat akta, jika :
a. Mengenai bidang tanah yang sudah terdaftar atau hak milik atas satuan rumah susun, kepadanya tidak disampaikan sertipikat asli hak yang bersangkutan atau sertipikat yang diserahkan tidak sesuai dengan daftar-daftar yang ada di Kantor Pertanahan, atau
b. Mengenai bidang tanah yang belum terdaftar, kepadanya tidak disampaikan :
1. Surat bukti hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1), PP. Nomor 24 tahun 1997. yaitu : (untuk keperluan pendaftaran hak, hak atas tanah yang berasal dari konversi hak-hak lama dibuktikan dengan alat-alat bukti mengenai adanya hak tersebut berupa bukti-bukti tertulis, keterangan saksi dan atau prnyataan yang bersangkutan yang kadar kebenarannya oleh Panitia Ajudikasi dalam pendaftaran tanah secara sistematik atau Kepala Kantor Pertanahan dalam pendaftaran tanah secara sporadik, dianggap cukup untuk mendaftar hak, pemegang hak dan hak-hak pihak lain yang membebaninya) atau surat keterangan Kepala Desa/Kelurahan yang menyatakan bahwa yang bersangkutan menguasai bidang tanah tersebut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) yaitu : (Dalam hal tidak atau tidak lagi tersedia secara lengkap alat-alat pembuktian sebagaimana dimaksud ayat (1), pembuktian hak dapat dilakukan berdasarkan kenyataan penguasaan fisik bidang tanah yang bersangkutan selama 20 (dua puluh) tahun atau lebih secara berturut-turut oleh pemohon pendaftaran dan pendahulu-pendahulunya, dengan syarat :
a. Penguasaan tersebut dilakukan dengan itikad baik dan secara terbuka oleh yang bersangkutan sebagai yang berhak atas tanah, serta diperkuat oleh kesaksian orang yang dapat dipercaya,
b. Penguasaan tersebut baik sebelum maupun selama pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 tidak dipermasalahkan oleh masyarakat hokum adat atau desa/kelurahan yang bersangkutan ataupun pihak lainnya.
2. Surat keterangan yang menyatakan bahwa bidang tanah yang bersangkutan belum bersertipikat dari Kantor Pertanahan, atau utnuk tanah yang terletak di daerah yang jauh dari kedudukan Kantor Pertanahan, dari pemegang hak yang bersangkutan dengan dikuatkan oleh Kepala Desa/Kelurahan, atau
c. Salah satu atau para pihak yang akan melakukan perbuatan hokum yang bersangkutan atau salah satu saksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 tidak berhak atau tidak memenuhi syarat untuk bertindak demikian, atau
d. Salah satu pihak atau para pihak bertindak atas dasar suatu surat kuasa mutlak yang pada hakekatnya berisikan perbuatan hokum pemindahan hak, atau
e. Untuk perbuatan hokum yang akan dilakukan belum diperoleh izin Pejabat atau instansi yang berwenang, apabila izin tersebut diperlikan menurut peaturan perundang-undangan yang berlaku, atau
f. Obyek perbuatan hokum yang bersangkutan sedang dalam sengketa mengenai data fisik dan atau data yuridisnya, atau
g. Tidak dipenuhi syarat lain atau dilanggar larangan yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.
Penolakan untuk membuat akta tersebut diberitahkan secara tertulis kepada para pihak-pihak yang bersangkutan disertai alasannya
Sumber : PP. Nomor 24 tahun 1997
Langganan:
Postingan (Atom)