Masih ingat kasus sengketa tanah di Meruya Selatan, Jakarta Barat beberapa tahun silam (1999)? Ketika itu ramai diberitakan perebutan tanah seluas 44 hektar antara PT Portanigra dan para warga yang sudah memiliki sertifikat hak milik atas tanah tersebut. Sampai sekarang pun kasus tersebut belum tuntas. Mengerikan bukan?
Andai saja ada transparansi data dan sertifikasi tanah bagi masyarakat, pasti kasus seperti itu bisa dicegah atau dikurangi. Sebab masyarakat bisa mengecek status sebidang tanah dengan mudah dan cepat sebelum memutuskan untuk membelinya. Peluang adanya duplikasi sertifikat tanah pun dapat ditekan. Transparansi seperti inilah yang mulai diupayakan oleh BPN (Badan Pertanahan Nasional).
Tinggal Klik Web
Nantinya jika ingin tahu status tanah yang sudah Anda beli, Anda tidak perlu repot-repot lagi datang ke kantor BPN. Tinggal klik saja http://map.bpn.go.id yang sekarang masih merupakan prototipe, maka peta online akan terpampang di depan Anda. Informasi yang dapat diakses adalah informasi umum, seperti bidang tanah, titik-titik GPS (global positioning system), peta-peta BPN, transaksi tanah, dan foto udara.
Anda tinggal memilih apa yang ingin diketahui. Sebaran transaksi jual beli tanah—tanggal, nilai, luas tanah, nilai pajak—di wilayah tertentu pada kurun waktu tertentu misalnya. Atau wilayah administrasi yang meliputi propinsi, kabupaten, dan kecamatan. Tidak perlu bayar, alias gratis.
Untuk mencari transaksi pertanahan misalnya, pertama-tama pilih propinsi, misalnya DKI Jakarta, kemudian pilih kabupaten (misalnya Jakarta Pusat). Selanjutnya tinggal ikuti petunjuk yang ada. Enak dan cepat bukan? Apalagi visualnya bisa di-zoom.
“Semua disimpan dalam database dalam bentuk vector line. Geodatabase namanya. Sekarang database dalam bentuk koordinat,’ ungkap Suyus Windayana (KaBid. Pengembangan Sistem, Data & Informasi Pertanahan, BPN).
“Secara peraturan beberapa data boleh (diumumkan), kecuali yang berkaitan dengan nama. Misalnya bapak A punya tanah berapa. Di pemerintah masih untuk BPN dan beberapa, misalnya penyidik seperti KPK dan Kejaksaaan. Buat publik belum. Yang kita coba adalah yang boleh-boleh dulu, seperti peta bidang tanah si ini di sini. Sudah diplot-plotkan. Itu yang akan kita coba bagikan ke masyarakat, di Internet,” jelas Suyus.
Jakarta Duluan
Dengan peta di Internet itu, kita bisa mencocokkan apakah benar tanah yang sudah kita miliki sertifikatnya tercantum di peta online tersebut. “Kalau tanahnya sudah ada di peta, berarti pemiliknya sudah tenang, tidak was-was, karena data yang ada di BPN sama dengan yang dimiliki masyarakat,” tandas Suyus. Namun jika data tidak sama, misalnya karena baru dijual, sang pemilik harus segera mengurusnya ke kantor pertanahan sesuai prosedur yang berlaku.
Sementara ini, BPN sedang mengujicobakan peta online di Jakarta. Mengapa Jakarta? Ini, kata Suyus, karena adanya masalah komunikasi data, yakni mahalnya biaya komunikasi (Telkom) jika dilakukan di daerah-daerah.
Prosesnya sendiri terjadi di lima kantor pertanahan di ibukota yang memang memiliki kewewenangan untuk hal ini. “Data kemudian dikirim ke kantor pusat. Kita sedang siapkan server, storage, dan sekuriti. Data-data bidang tanah yang sudah bersertifikat, sudah publish,” ucap Suyus sambil mengatakan bahwa server dan sekuritinya masih dalam tahap pengujian. “Tahun ini Insya Allah sudah siap,” tambahnya.
Tahun depan, peta online ditargetkan juga mencakup Jabodetabek. Menyusul berikutnya adalah Bandung, Surabaya, dan Makassar. Sebenarnya setiap kantor (pertanahan), datanya sudah ada. “Cuma bagaimana mensinkronisasikan data dengan pusat agar beban di server tidak besar,” kata Suyus yang memulai karier di BPN sejak tahun 1993.
Gara-gara AutoDesk MapGuide
Untuk keperluan transparansi itu, BPN telah menyiapkan hardware dan software. Sebanyak 14 Blade server HP telah dibeli, juga storage HP EVA 4000/5000 dengan kapasitas sekitar 5 terabyte (TB). Sedangkan untuk sekuriti, sebagian menggunakan Juniper, dan HP di beberapa switch. Firewall juga menggunakan Juniper.
“Semuanya lagi di-setting. Database pakai Oracle Spatial. Untuk mapping-nya, menggunakan AutoDesk MapGuide versi 2009,” tutur Suyus. “Sangat terbantu dengan AutoDesk karena semua prosesnya disiapkan dengan AutoDesk supaya datanya ready apa pun software yang akan dipakai.”
Saat ini, jelas Suyus, ada beberapa yang sedang diperbaiki di MapGuide, seperti konflik dengan Windows. Selain itu sedang dilakukan penambahan server sehingga ada dua server yang identik dan aktif bersamaan.
Sebenarnya transparansi data pertanahan ini, tutur Suyus, dipicu oleh penggunaan software AutoDesk. Awalnya memang ada kebutuhan dari internal untuk mengetahui kemajuan kerja BPN secara nasional setiap tahunnya. Contohnya, peta satelit tahun 2007 dilakukan di wilayah-wilayah mana saja.
“Setelah pakai AutoDesk dan digabungkan datanya, ternyata di-publish pun bisa. Jadi kenapa tidak (di-publish) ke masyarakat?. Apalagi tidak terlalu mahal,” cerita Suyus. “Tujuannya transparansi pelayanan ke masyarakat, agar bisa interaktif dengan BPN,” tambahnya.
Belum Akurat 100%
Sayang data yang ada sekarang belum 100% akurat. Ini, ungkap Suyus, karena data manual harus didigitalkan dulu. “Saat didigitalkan mungkin ada error. Mungkin belum semua data diplotkan, belum semua yang diukur dimasukkan ke peta. Jadi belum 100% dipetakan.”
Query-nya pun belum dilengkapi. “Tapi bisa cari alamat. Namun alamat yang ada di BPN itu belum up-to-date, jadi kita sedang bandingkan dengan alamat yang ada di peta,” kata Suyus.
Menurut Suyus, kesulitan terjadi antara lain akibat perkembangan dan pemekaran wilayah. Misalnya di sertifikat yang dikeluarkan tahun 1975 yang ketika itu belum memiliki jalan sehingga oleh juru ukur disebut Kampung A. Sekarang jalanan sudah ada, sehingga datanya tidak cocok dan perlu dicek silang satu per satu.
Tidak Cakup Girik
Sayangnya lagi, tanah yang sedang dalam sengketa tidak bisa dilihat datanya di peta online. “Ada kebijakan yang harus dilihat karena menyangkut banyak orang. Secara sistem datanya kita punya, misalnya tanah ini sengketa siapa dengan siapa. Yang sedang dibangun adalah statusnya. Databasenya sedang dibuat,” jelas Suyus.
Tanah girik juga tidak akan tercantum di peta. “Yang kita kelola baru tanah yang sudah bersertifikat, hak guna, hak milik, hak usaha. Untuk apartemen sebenarnya juga sudah ada, tapi memvisualkannya kita belum bisa. Gambar denahnya ada, tapi memvisualkannya dalam bentuk 3D, sedang dibicarakan dengan AutoDesk.“
“Prosesnya memang banyak tetapi BPN berusaha memberikan pelayanan pada masyarakat agar mereka lebih tenang karena (tahu tanahnya) sudah diplotkan di BPN. Kalau belum, ya lapor,” kata Suyus.
Saat ini semua kantor BPN masih melakukan digitalisasi. Dari 35 juta sertifikat yang sudah dikelusarkan, baru 11 – 12 juta yang sudah didigitalkan. “Ke depannya semua data spasial, infrastruktur harus publish,” ungkap Suyus.
Sumber : http://tekno.kompas.com/read/2009/02/19/14451524/menuju.transparansi.sertifikasi.tanah